Mendung.
Jam
sudah menunjukkan pukul dua siang, dimana matahari seharusnya sedang
giat-giatnya. Mungkin hari ini Matahari sedang lelah, atau minta istirahat. Sejak
pukul delapan pagi tadi, Matahari sudah bersembunyi di balik awan keabu-abuan
yang gemuk.
Aku
pun sedang bersembunyi di balik selimutku. Menangkis hawa dingin yang berhembus
dari pendingin ruangan. Sebenarnya tidak perlu juga, sih, aku menyalakan AC. Tapi
rasanya sudah menjadi kebiasaan, masuk
kamar-cari remote AC-nyalakan-tidur.
Aku
pun berikrar dalam hati. Akan kumatikan AC saat hujan turun nanti.
Teman
dalam selimutku kali ini, handphone. Aku memang sedang tidak memainkannya—memangnya
apa yang mau dimainkan, folder games ku tidak ada isinya—tapi aku sedang
melakukan telepati dengan handphone ringsek yang hampir kugunakan dari SD itu. Gila
memang.
Aku
berteriak dalam hatiku. Mengirimkan sinyal-sinyal permohonan kepada handphone
yang sedang kugenggam. “Ayo bergetarlah. Ayo..”
Tambah
bodoh saja aku. Mana bisa handphone diajak berkomunikasi. Ini lagi, malah pakai
telepati. Tanganku yang mulai berkeringat akhirnya melepas handphone yang
sepinya melebihi kuburan tua. Kuletakkan handphone itu di perut, jidat, dada,
atau anggota tubuh lain asal aku dapat merasakan getaran saat ada pesan masuk
nanti. Tidak boleh ketinggalan sedetikpun.
Sudah
hampir setengah jam aku menikmati keheningan dengan handphoneku tersayang ini. Yang
kulakukan sejauh ini hanya membuka lock handphoneku, melihat wallpaper norak
yang terpampang disitu, mendengus karena tidak ada apa-apa, lalu menguncinya
lagi. Begitu terus sampai kiamat.
Aku
pun menambah ikrarku. Jika turun hujan, aku akan mengirim pesan duluan. Persetan
dengan gengsi. Gengsi menghambat rindu.
Oh,
apakah yang aku tunggu? Kalian bertanya?
Aku
sedang menunggu pesan dari calon suamiku nanti. HAHAHA apa tadi aku berkata
calon suami? Pfft boro-boro, mengenalku saja tidak! Dia hanya tahu kalau ada
manusia bernama Lidya Andaru. Namun dia tidak tahu kalau aku ADA. Dia tidak
peduli kalau aku eksis. Tahu rupaku saja tidak. Padahal dengan kacamata
kedodoranku ini, badan pendek, pipi bulat, senyum yang hangat (Boleh pede
sedikit? Itu asetku satu-satunya) seharusnya aku tidak bisa dilewatkan begitu
saja. Bahkan oleh calon suami—ehm, maksudku lelaki ini.
Tess!
Aku menajamkan kuping. Itu suara rintik air menghantam jendela kamarku. Oh,
gerimis! Sebentar lagi hujan! Aku harus mengiriminya pesan!!
Aku
mengetik pesanku perlahan, seolah aku adalah pengidap tremor yang sedang kumat.
Tanganku bergetar. Antara ketakutan dan rasa senang yang berlebihan. Jariku berhenti
di tombol send. Tinggal beri sedikit gaya tekan, dan terkirimlah. Namun menekan
satu tombol itu rasanya berat sekali. Yak, ayooooo tinggal tekan saja....cuma
perlu satu detik. Aku menahan napas, memejamkan mata dan..............
TIT
TIT!! TIT TIT!!
Handphoneku
meraung tanpa permisi. Jantungku melesat ke kerongkongan.
Kuabaikan
perang batinku tadi dengan mencari tahu siapa yang seenak udelnya telah
mengganggu detik-detik bersejarahku untuk mengirim SMS kepada calon suamiku
itu.
Aku
terperangah di kasur, udara di dalam selimut mandadak panas, seperti di sauna. Aku
melihat nama yang muncul di layar handphone. CALON SUAMIKU AKHIRNYA SMS!!
Dengan
satu tarikan napas panjang, kutekan tombol open message.
“Teman-teman
maaf hari ini tidak ada kegiatan panjat dinding karena sepertinya akan hujan
deras. Terima kasih.”
Aku
lemas.
Kulihat
jendelaku. Gerimisnya sudah berhenti. Gerimis palsu. Gerimispun mempermainkanku.
Mendung
palsu.
Semua
palsu.
Aku
pun mendorong handphoneku jauh-jauh. Nih, ambil saja buat kalian. Bawa ke
puncak gunung lalu lempar sejauh mungkin. Atau bawa ke tengah laut di Pasifik
sana, lalu tenggelamkan.
Aku
mengambil remote AC, lalu merendahkan suhunya serendah mungkin. Kembali aku
meringkuk ke dalam selimut. Menggigil dalam sedih. Pas sekali.
“Mas, saya
Lidya. Nanti panjat dindingnya jam berapa? Saya mau ngomong sesuatu sama Mas.”
Saved to draft.