Aku
Gelap.
Tidak
semua orang suka padaku. Anak kecil banyak yang menghindariku, takut.
Meronta-ronta saat lampu kamar mereka hendak dipadamkan. Takut ada setannya.
Padahal aku tidak pernah membawa siapapun, aku gelap dan aku sendiri. Soliter.
Aku
identik dengan duka. Lihat saja orang-orang yang sedang takziah. Mereka
menggunakanku. Aku adalah perlambang dari ungkapan prihatin. Jadi aku
mengiringi tangis dan sedu sedan. Tak ada
yang pernah tertawa riang saat bertemu denganku.
Kadang
aku merasa iri dengan kerabat dekatku, si Redup. Kami tidak beda jauh, hanya
saja Redup memiliki cahaya lebih dariku. Orang-orang menggunakannya saat akan
tidur, dan Redup akan meninabobokan sampai mereka terlelap. Redup tidak
mengganggu mata sehingga orang-orang dapat beristirahat dengan nyaman. Ah, andai
saja aku memiliki sedikit dari cahayamu, kawan.
Aku
juga iri dengan kerabatku yang lain, si Remang-Remang. Derajatnya lebih tinggi
daripada Si Redup. Banyak yang bilang Remang-Remang itu lembut dan
menentramkan, bahkan ada yang menyebutnya romantis. Aku melihat banyak yang
membangun perasaan itu dengan menggunakan Remang-Remang. Ah, andai saja aku
juga bisa seterang dirimu, kawan.
Aku tak bercahaya,
lalu apalah guna diriku,
isakku dalam hati. Saat lampu padam, orang-orang mengomel, mereka menyalahkanku
karena menghambat aktivitas mereka. Mereka lebih cinta terang, karena dunia
tampak lebih indah dan berwarna. Cahaya membuat mereka dapat melihat pelangi,
gunung, dan laut. Saat gelap, apa yang bisa dinikmati?
“Kenapa
kamu bersedih, Gelap?” tiba-tiba Bintang menghampiriku. Aku terperanjat,
Bintang adalah sosok yang sangat kuhormati dan kuagung-agungkan karena
cahayanya, jadi begitu terkejutnya aku karena dia sudi bicara padaku.
“Eh..tidak
apa-apa, Bintang. Aku hanya sedang berpikir,” jawabku lirih. Kutundukkan diriku
serendah-rendahnya, karena selain silau, aku malu.
“Ceritakan
padaku,” pinta Bintang ramah, tanpa sedikitpun nada memaksa.
Aku
menghela napas, “Aku berpikir kenapa aku ada. Kenapa semua orang takut bahkan
tidak suka padaku. Lalu apa gunaku?”
“Lihat
saja Redup dan Remang-Remang, cahaya mereka lebih sedikit saja dariku, tapi
banyak orang yang suka,” lanjutku emosi, tanpa sadar suaraku meninggi.
Bintang
menatapku lembut, membuatku semakin rendah diri. Raut wajahnya mempersilakanku
untuk melanjutkan keluh kesahku.
“Aku
memang tidak tahu diri, Bintang, tapi bolehkah aku meminjam sedikit saja cahaya
darimu?” Kuberanikan diri bertanya pada Bintang, meskipun rasanya sungkan bukan
main.
“Lalu,
siapa yang akan membantuku?” Bintang merangkulku, hangat.
“Membantumu?
Kau kan sudah punya cahaya sendiri.”
Bintang
tertawa lembut, tidak sepadan dengan sinarnya yang dipancarkan. “Kalau Gelap
tidak ada, bagaimana aku akan terlihat dari Bumi sana?”
Aku
semakin tidak mengerti, lalu Bintang menunjuk ke Bumi.
“Perhatikan
baik-baik. Dalam gelap pun orang-orang dapat melihat keajaiban alam. Lihatlah aku.
Tanpa kamu, aku tidak akan terlihat dari Bumi. Tanpa kamu, orang-orang tidak
akan bisa melihat indahnya bintang jatuh, aurora, bahkan terangnya bulan
purnama. Kami butuh kegelapanmu untuk menciptakan keindahan-keindahan itu. Matahari
pun butuh kamu, karena setelah dia tenggelam untuk istirahat, kamu kan yang
menggantikannya?”
Aku
melihat lebih jeli lagi ke Bumi, ternyata yang kulihat di bawah sana adalah
mata-mata yang berbinar, napas-napas yang tertahan, dan mulut-mulut yang tak
henti-hentinya mengucap keindahan kami. Aku dan Bintang, aku dan Bulan, aku dan
kawan-kawan semestaku.
Aku
hampir menangis, menyadari betapa dibutuhkannya aku disini.