Jumat, 08 Februari 2013

surat

Aku sedang menuju kantor pos. Dibalut dengan amplop putih yang sudah setengah lecek akibat terlalu lama diremas penulisku. Aku akan melakukan perjalanan panjang, agak ke sebelah barat Pulau Jawa. Jalan-jalan, sorakku dalam hati.
Aku ditulis tiga hari yang lalu. Dengan hati-hati gadis ini menggoreskan penanya ke tubuhku. Tapi setelah dia menulis tanggal di bagian atas, dia termenung sesaat. Aku penasaran, apa yang sedang dipikirkannya. Dia bertanya pada gadis di sebelahnya yang ternyata adalah adiknya.
“Enaknya nulis apa ya?”
Adiknya hanya mengedikkan bahu. Penulisku kembali memandangiku yang hanya berhiaskan tanggal. Mukanya terlihat serius, berpikir. Setelah agak lama, dia terlihat menyerah dan mulai menggoreskan penanya kembali.
Aku nggak tahu mau nulis apa.
Aku tersenyum melihat penulisku. Gadis ini juga ikut tersenyum, sepertinya sedang senang sekali. Kulihat Handphone yang sedang tidur-tiduran di sebelahku. Handphone itu tersenyum, tapi terlalu sinis untuk sebuah senyum.
“Sudah punya aku kok masih nulis surat. Emang masih jaman?” tohoknya.
“Aku kan bisa menyampaikan pesan lebih cepat, gampang, ringkes, murah!” lanjutnya.
Aku terdiam, tidak tahu caranya membela diri. Akhirnya aku hanya tertunduk muram. Sebagian hatiku berbisik, Handphone benar adanya.
“Kenapa sih, kok masih kirim surat? Laptop ada, email atau chat kan bisa. Itu handphone dianggurin gitu. Dua ribu dua belas brooo.” Adik penulisku berujar.
“Eh jangan salah,” penulisku tersenyum lagi, tak mengindahkan pandangannya dariku.
“Nulis surat itu asik, tau. Feelnya beda. Mulai dari nulis, ngirim ke kantor posnya, nunggu suratnya nyampe sampai nunggu suratnya dibales.”
“Sok oldish,” cibir adiknya dan Handphone hampir bersamaan.
“Coba dulu lah. Lagian tulisan tangan itu lebih jujur. Lebih bisa menyampaikan perasaan.” Penulisku membubuhkan tanda tangannya kemudian melipatku rapi.
Aku menoleh pada Handphone. Sok tidak peduli, tapi kulihat air mukanya berubah sebal.
Dan disinilah aku, sedang berpindah tangan. Yang menerimaku adalah ibu-ibu paruh baya dengan muka jutek setengah mati. Kurasa ibu itu sudah terjebak lama dibalik meja panjang ini. Oh, ternyata aku sudah siap. Aku melambai tanda perpisahan kepada penulisku. Aku akan membawa sebuah perasaan yang besar dalam diriku. Penulisku tersenyum saat melihatku dibawa, sebuah surat yang beberapa hari lagi akan tiba di tempat baru, di tangan yang baru, namun senyum yang sama saat menyentuhku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar