Aku sedang menuju
kantor pos. Dibalut dengan amplop putih yang sudah setengah lecek akibat
terlalu lama diremas penulisku. Aku akan melakukan perjalanan panjang, agak ke
sebelah barat Pulau Jawa. Jalan-jalan, sorakku dalam hati.
Aku ditulis tiga hari
yang lalu. Dengan hati-hati gadis ini menggoreskan penanya ke tubuhku. Tapi
setelah dia menulis tanggal di bagian atas, dia termenung sesaat. Aku
penasaran, apa yang sedang dipikirkannya. Dia bertanya pada gadis di sebelahnya
yang ternyata adalah adiknya.
“Enaknya nulis apa ya?”
Adiknya hanya
mengedikkan bahu. Penulisku kembali memandangiku yang hanya berhiaskan tanggal.
Mukanya terlihat serius, berpikir. Setelah agak lama, dia terlihat menyerah dan
mulai menggoreskan penanya kembali.
Aku
nggak tahu mau nulis apa.
Aku tersenyum melihat
penulisku. Gadis ini juga ikut tersenyum, sepertinya sedang senang sekali.
Kulihat Handphone yang sedang tidur-tiduran di sebelahku. Handphone itu
tersenyum, tapi terlalu sinis untuk sebuah senyum.
“Sudah punya aku kok
masih nulis surat. Emang masih jaman?” tohoknya.
“Aku kan bisa
menyampaikan pesan lebih cepat, gampang, ringkes, murah!” lanjutnya.
Aku terdiam, tidak tahu
caranya membela diri. Akhirnya aku hanya tertunduk muram. Sebagian hatiku
berbisik, Handphone benar adanya.
“Kenapa sih, kok masih
kirim surat? Laptop ada, email atau chat kan bisa. Itu handphone dianggurin
gitu. Dua ribu dua belas brooo.” Adik penulisku berujar.
“Eh jangan salah,”
penulisku tersenyum lagi, tak mengindahkan pandangannya dariku.
“Nulis surat itu asik,
tau. Feelnya beda. Mulai dari nulis, ngirim ke kantor posnya, nunggu suratnya
nyampe sampai nunggu suratnya dibales.”
“Sok oldish,” cibir
adiknya dan Handphone hampir bersamaan.
“Coba dulu lah. Lagian tulisan
tangan itu lebih jujur. Lebih bisa menyampaikan perasaan.” Penulisku
membubuhkan tanda tangannya kemudian melipatku rapi.
Aku menoleh pada
Handphone. Sok tidak peduli, tapi kulihat air mukanya berubah sebal.
Dan disinilah aku, sedang
berpindah tangan. Yang menerimaku adalah ibu-ibu paruh baya dengan muka jutek
setengah mati. Kurasa ibu itu sudah terjebak lama dibalik meja panjang ini. Oh,
ternyata aku sudah siap. Aku melambai tanda perpisahan kepada penulisku. Aku
akan membawa sebuah perasaan yang besar dalam diriku. Penulisku tersenyum saat
melihatku dibawa, sebuah surat yang beberapa hari lagi akan tiba di tempat
baru, di tangan yang baru, namun senyum yang sama saat menyentuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar