Minggu, 10 Maret 2013

Aku Gelap



Aku Gelap. 

Tidak semua orang suka padaku. Anak kecil banyak yang menghindariku, takut. Meronta-ronta saat lampu kamar mereka hendak dipadamkan. Takut ada setannya. Padahal aku tidak pernah membawa siapapun, aku gelap dan aku sendiri. Soliter. 

Aku identik dengan duka. Lihat saja orang-orang yang sedang takziah. Mereka menggunakanku. Aku adalah perlambang dari ungkapan prihatin. Jadi aku mengiringi tangis dan sedu sedan.  Tak ada yang pernah tertawa riang saat bertemu denganku. 

Kadang aku merasa iri dengan kerabat dekatku, si Redup. Kami tidak beda jauh, hanya saja Redup memiliki cahaya lebih dariku. Orang-orang menggunakannya saat akan tidur, dan Redup akan meninabobokan sampai mereka terlelap. Redup tidak mengganggu mata sehingga orang-orang dapat beristirahat dengan nyaman. Ah, andai saja aku memiliki sedikit dari cahayamu, kawan.

Aku juga iri dengan kerabatku yang lain, si Remang-Remang. Derajatnya lebih tinggi daripada Si Redup. Banyak yang bilang Remang-Remang itu lembut dan menentramkan, bahkan ada yang menyebutnya romantis. Aku melihat banyak yang membangun perasaan itu dengan menggunakan Remang-Remang. Ah, andai saja aku juga bisa seterang dirimu, kawan. 

Aku tak bercahaya, lalu apalah guna diriku, isakku dalam hati. Saat lampu padam, orang-orang mengomel, mereka menyalahkanku karena menghambat aktivitas mereka. Mereka lebih cinta terang, karena dunia tampak lebih indah dan berwarna. Cahaya membuat mereka dapat melihat pelangi, gunung, dan laut. Saat gelap, apa yang bisa dinikmati?

“Kenapa kamu bersedih, Gelap?” tiba-tiba Bintang menghampiriku. Aku terperanjat, Bintang adalah sosok yang sangat kuhormati dan kuagung-agungkan karena cahayanya, jadi begitu terkejutnya aku karena dia sudi bicara padaku.

“Eh..tidak apa-apa, Bintang. Aku hanya sedang berpikir,” jawabku lirih. Kutundukkan diriku serendah-rendahnya, karena selain silau, aku malu.

“Ceritakan padaku,” pinta Bintang ramah, tanpa sedikitpun nada memaksa.

Aku menghela napas, “Aku berpikir kenapa aku ada. Kenapa semua orang takut bahkan tidak suka padaku. Lalu apa gunaku?” 

“Lihat saja Redup dan Remang-Remang, cahaya mereka lebih sedikit saja dariku, tapi banyak orang yang suka,” lanjutku emosi, tanpa sadar suaraku meninggi.

Bintang menatapku lembut, membuatku semakin rendah diri. Raut wajahnya mempersilakanku untuk melanjutkan keluh kesahku.

“Aku memang tidak tahu diri, Bintang, tapi bolehkah aku meminjam sedikit saja cahaya darimu?” Kuberanikan diri bertanya pada Bintang, meskipun rasanya sungkan bukan main.

“Lalu, siapa yang akan membantuku?” Bintang merangkulku, hangat.

“Membantumu? Kau kan sudah punya cahaya sendiri.”

Bintang tertawa lembut, tidak sepadan dengan sinarnya yang dipancarkan. “Kalau Gelap tidak ada, bagaimana aku akan terlihat dari Bumi sana?”

Aku semakin tidak mengerti, lalu Bintang menunjuk ke Bumi.

“Perhatikan baik-baik. Dalam gelap pun orang-orang dapat melihat keajaiban alam. Lihatlah aku. Tanpa kamu, aku tidak akan terlihat dari Bumi. Tanpa kamu, orang-orang tidak akan bisa melihat indahnya bintang jatuh, aurora, bahkan terangnya bulan purnama. Kami butuh kegelapanmu untuk menciptakan keindahan-keindahan itu. Matahari pun butuh kamu, karena setelah dia tenggelam untuk istirahat, kamu kan yang menggantikannya?”

Aku melihat lebih jeli lagi ke Bumi, ternyata yang kulihat di bawah sana adalah mata-mata yang berbinar, napas-napas yang tertahan, dan mulut-mulut yang tak henti-hentinya mengucap keindahan kami. Aku dan Bintang, aku dan Bulan, aku dan kawan-kawan semestaku.

Aku hampir menangis, menyadari betapa dibutuhkannya aku disini. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar