Sabtu, 02 Februari 2013

suer bukan sinetron

takdir itu apa?

takdir itu waktu aku bangun jam lima lebih empat puluh. sambil merutuk aku langsung ke kamar mandi, mengabaikan dering sms yang daritadi nanya keberadaanku. sial, aku kesiangan. padahal aku panitia, dan harus datang lebih awal buat dapet briefing.

takdir itu waktu supirku juga terlambat datang. bibirku yang udah manyun berkilo-kilo meter tetap nggak membuat supirku merasa bersalah. dia melenggang masuk rumah dan sempet bilang, "Mbak, aku ngopi dulu ya," aku mendelik. dia cengengesan dan langsung ngambil kunci mobil.

takdir itu waktu aku milih lewat depan koperasi siswa buat masuk ke daerah sekolah, bukan lewat gerbang utama. sambil lari-lari kecil, aku ngeliatin jam berharap briefingnya belum mulai.

takdir itu waktu aku mau belok ke galeri, dan disitulah aku hampir nabrak kamu. kaget gara-gara kita cuma liat-liatan sepersekian detik, bingung antara mau nyapa atau nerusin lari, akhirnya aku cuma senyum sambil bilang "halo," dan sayup-sayup dia bales, "sa."

oh....si muka songong tau namaku ternyata. kirain lupa.

kita nggak pernah tahu dengan cara apa kita dipertemukan. coba kalau misalnya aku bangun lebih pagi waktu itu, aku ikut briefing tepat waktu dan adegan tabrakan tadi? nggak akan pernah terjadi. keren yah? lima menit lebih awal aja, aku nggak akan papasan sama dia. dan misterinya sampai sekarang adalah kenapa aku nggak lewat gerbang depan....

mungkin karena itu sudah diatur? semesta menginginkan kami bertemu pagi itu. ya terjadilah.


*yang ditabrak mukanya udah nggak songong lagi. tapi pikunan sekarang.*




1 komentar:

  1. Ini juga bukan sinetron:
    17 Agustus 1989, habis naik bis kota P12 turun di Pasar Baru, om berjalan dg teman satu kost (asal Sumenep) menuju Lapangan Banteng untuk upacara tujuh belasan.

    Ketika melewati gedung Mahkamah Agung yg bersebelahan dg Gedung Keuangan, tiba2 keusilan muncul. Om melontarkan joke begini "Eh tau gak, Mahkamah Agung itu yang mempopulerkan adalah orang Madura. Awalnya namanya cuma Kamah Agung, tapi dibaca orang Madura jadi Mah-Kamah Agung" (he..he...etnis yang satu ini mmg luar biasa).

    Tanpa diduga temen dari Sumenep ini menonjok lengan om cukup keras sambil bilang "guyon ya guyon, tapi jangan bawa-bawa nama orang tua". Aduh sial, om baru ingat, nama ortu sahabat satu ini adalah Pak Kamah (ha...ha...ha... kualat).

    Sekarang tiap lihat pak Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi yang asli Madura, terkenang Pak Kamah ayah dari temen satu kost ketika kuliah dulu. Pak Kamah wafat kurang lebih setahun yg lalu, smoga amalnya diterima Allah swt.

    BalasHapus